Selasa, 09 Oktober 2012

CERPEN CALON GURU JUGA MANUSIA


CALON GURU JUGA MANUSIA

Daun kering karet berjatuhan menghujani langkah kepergianku untuk kemandirian dan pendidikan. Langkah yang terbetik keraguan dipertegar oleh ayunan langkah di belakangku, langkah orang-orang yang telah pasih di mataku. Mereka adalah Ibu tercinta, Kakak, Abang dan Keponakan-Keponakan tersayang. Langkah kami terhenti di samping mobil putih yang sejak tadi menunggu penumpang terakhirnya yaitu Aku.

Ku balikkan tubuhku yang telah bergelayutan barang-barang keperluanku, sebuah ransel yang cukup besar di punggungku, dan tentengan kresek di tangan kanan dan tangan kiriku. Kemudian, ku tatap setiap pasang bola mata yang akrab itu dengan penuh pengharapan dan tanya “Apakah aku bisa?”, dari bola-bola mata mereka Aku mendapat tamparan semangat dan keyakinan, seolah-olah mata-mata itu berkata “Pergilah, lakukan yang terbaik, kamu pasti bisa!”.

 Dari dalam mobil terdengar celoteh-celoteh penumpang lainnya karena tidak sabar dan ingin segera berangkat. Acara tatap-tatapan pun harus diakhiri, Ku letakkan kresek yang dari tadi menarik tanganku dan kuhampiri Ibu dan saudaraku serta mencium tangannya sebagai tanda mereka mengizinkan dan mengikhlaskan kepergianku yang insyaallah mulia ini. Itu juga yang dilakukan keponakan-keponkan terhadapku, menyalami dan mencium tanganku sebagai penggambaran mereka menghormatiku sebagai Aciknya dan ikut senang atas apa yang Aku lakukan.

Adegan berpamitan pun telah usai, ku raih kembali kresek yang terisi penuh dengan berbgai macam barang, mulai dari alat-alat dapur sampai keperluan mandi. Ku tegapkan langkahku menuju mobil agar tiada risau di hati keluarga yang akan jauh di mata namun dekat di hati ini. Kemudian aku angkat kaki kananku menaiki mobil, dengan keadaan hampir seluruh badan masuk mobil, Aku terkaget karna dipanggil keponakanku yang nomor dua yang membuat kepalaku terbentur pada bagian atas pintu mobil, “Aauuuwwh!!!” teriakku. Aku pun terbangun dari tidur, ternyata kepalaku terbentur meja yang disamping tempat tidur, rasanya lumayan sakit, Ku usap-usap keningku yang terbentur agar berkurang rasa sakitnya.

Sayup-sayup terdengar suara azan subuh, Aku pun beranjak dari tempat tidur untuk berwuduk dan shalat subuh. Suasana kos masih sepi, pintu-pintu kamar disetiap lorong masih tertutup rapat, menandakan keluarga baruku masih terbuai mimpi indah tidur mereka. Suara kran air memecah kesunyian pagi ini, air wuduk membasahi setiap bagian tubuhku yang telah menjadi jatahnya, segar sekali rasanya. Satu persatu pintu kamar pun berderik, penghuni kamar mulai memenuhi kewajibannya kepada sang Khalik. Sebelum terjadi antrian panjang Aku segera meninggalkan tempat berwuduk menuju kamar paling depan dengan angka satu di pintunya.

Hari ini Aku tidak kuliah, jadi Aku hanya bersantai di kamar, duduk di atas tempat tidur dan membayangkan kembali mimpiku yang baru saja berakhir dengan kurang mengasyikkan sambil mengusap-usap kening yang terbentur meja tadi. Terbayang perjuangan orang tua untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang kuliah ini, apalagi dengan kehidupan yang sederhana dan hanya Ibu yang mencari uang semenjak meninggalnya Ayah, usia Ibu juga sudah tua, hal itu bukanlah mudah untuk dijalani. Ku menghela nafas panjang dan merebah ke tempat ternyaman di kos ku ini.

***

Kejenuhan yang terasa di kos sejak pagi tadi memudar saat Gina  teman satu kosku mengajakku pergi ke suatu tempat perbelanjaan. Awal perjalanan, ku senang bisa menghilangkan rasa suntuk dan keluar melihat suasana baru. Namun rasa senang itu hilang seketika saat mataku tertuju pada seorang laki-laki berjalan beriringan dengan seorang wanita cantik menggunakan celana jens biru, baju kaos pink dan jilbab pink yang dililitkan dilehernya. Jantungku mulai berdegup kencang dan hatiku sedikit tersayat, hatiku bertanya-tanya, seolah tak percaya. Untuk memastikannya aku menghampiri mereka tanpa ku sadari, Gina ku tinggalkan sendiri. Semakin dekat, semakin jelas, dan semakin aku yakin kalau laki-laki itu adalah Fajri pacarku. Ku kuatkan lahir batin untuk bercengkrama dengan mereka.

Obrolan singkat tapi kurasa bagai setahun itu baru membuatku sadar kalau laki-laki yang ku sayang ini telah mencoba mencintai wanita lain dan perlahan melangkah meninggalkanku. Wanita bernama Tia itu tetap menyangka kalau diriku adalah teman SMA Fajri, mungkin lebih baik begitu. Fajri tidak berkata sepatah kata pun, dia hanya diam dengan wajah memerah, penuh rasa bersalah, kecewa, sedih, dan penyesalan. Seolah-olah dia bertanya dalam hati, apa yang telah ku lakukan, kenapa bisa sejauh ini. Dengan senyum pahit menahan tangis ku pergi meninggalkan mereka.

Kos sederhana menjadi saksi perihnya hatiku, menjadi wadah tumpahan air mata goresan lukaku, dan sebagai pendengar setia isak tangis dukaku karenanya, kutumpahkan semuanya di sini. Malam pun menghampiri, aku yang lemas kehabisan tenaga hanya terbaring di tempat tidur. “Zzztt...zzztt” tanda pesan masuk di Hpku, perlahanku buka pesan itu dan tertera.

“Gadisku...maaf atas semua yang telah kulakukan, aku menyesal telah mengecewakan wanita sebaik kamu. Bisa aku jelaskan semuanya. Dis... Bisa kita bertemu dan bicara??”

Hatiku makin tak menentu setelah membaca pesan darinya.`Dengan tenaga yang tersisa aku membalas pesan tersebut.

“Aku mengenalmu Fajri, kamu tidak akan pergi dengan seorang wanita manapun kalau tidak ada rasa, kita tidak perlu bertemu untuk membahas ini... Jika kamu memang mencintainya dengan hati dan bahagia bersamanya... maka tetaplah bersamanya,, sayangi dan jaga dia seperti kamu menjaga adik perempuanmu sendiri. Aku tau, aku tak bisa menjadi seperti  yang kau inginankan, slalu bisa di sampingmu... aku sadari itu, tapi bukan pacaran seperti itu yang aku inginkan. Jika kamu bahagia, insyaAllah aku juga akan bahagia dengan caraNya. Tapi satu hal yang harus kamu tau, aku tak akan mencari yang lain. Cukup satu pacar dalam hidupku, aku hanya akan menunggu jodohku datang melamar dan menjadikanku istrinya. Biarlah waktu yang menjawab semua rasa ini”.

inilah pesan terakhir yang ku kirim padanya. Setelah itu kami tidak ada komunikasi. Hubungan kami pun ntah apa akhirnya.

 Rasa sakit dan sedih yang cukup dalam kurasakan, sempat membuat aku tidak semangat dalam kuliah, sampai suatu hari temanku datang menghampiriku. Dengan wajah sedih ia bercerita bahwa kemungkinan kebersamaan kami di kampus akan segera berakhir, seribu pertanyaa mondar-mandir di kepaaku, mengapa begitu? Apa yang terjadi? Dengan perlahan dia jelaskan, setelah ayahnya meninggal, ekonomi keluarganya menurun drastis sehingga tidak bisa membiayai kuliahnya lagi.

Saat itu aku bagai tersambar petir disiang bolong, apa yang telah aku lakukan, mengapa aku seperti ini, haruskah aku mengecewakan Ibu hanya karena permasalan cinta. Terbayang-bayang kembali kehidupan Ibu dan keluargaku, susahnya mencari dana untuk kuliahku dan teringat kembali pertama kali mereka melepaskan ku pergi kuliah dan pesan mereka padaku agar belajar dengan baik dan harapan sukses mereka.. Ku coba menenangkan diri dan temanku, ku katakan padanya menangislah jika itu perlu, jika itu membuatmu tenang, jangan malu, calon guru juga manusia, punya masalah dan perasaan, ku kan disini menemanimu dan membantumu.

Semenjak itu, aku dan temanku itu giat belajar dan aku juga membantunya untuk mendapatkan beasiswa. Apa yang kami usahakan berakhir baik. Temanku mendapat beasiswa dan tetap kuliah bersama sampai kami menggunakan pakaian toga dihari penting kami sebagai lulusan sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan nilai yang memuaskan dalam waktu tiga setengah tahun, peluk, tangis, dan tawa berbaur dalam satu momen, tiada kata yang bisa ku ucap selain rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan semua ini.

Ku alihkan pandanganku dari kerumunan wisuda itu. Terlihat Ibu berdiri dengan menggenggam tangannya,  air matanya menetes bagai untaian mutiara dan dia tersenyum. Senyuman paling indah yang pernah ku saksikan selama ku mengenalnya, seharusnya ada laki-laki disampingnya, harusnya Ibu dalam rangkulan Ayah menatap dan menunggu kedatanganku, tapi sudahlah. Aku pun berlari menghampirinya, berlutut, dan memeluk erat tubuh hangatnya. Ku tatap dalam-dalam matanya dan kami saling tersenyum, lirih ku dengar suaranya “Trima kasih, anakku” Kata-kata terindah yang pernah ku dengar darinya. Tak palang terkejutnya dibelakang ibuku telah berdiri pria dengan setangkai mawar merah di tangannya, ia tersenyum penuh makna padaku. Matanya menatap penuh harap dan kerinduan, aku hanya tersenyum dan ia pun tersenyum padaku. “Wajah yang tak asing,” kataku. Akhirnya dia kembali, dia kembali bukan sekedar membawa mawar, tapi juga sebuah cincin. Sambil berlutut yang disaksikan Ibu, dia melamarku.

 

2012

Karya: Susdamita

1105111601

 

 

 

                                                                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar