CALON GURU JUGA MANUSIA
Daun kering karet
berjatuhan menghujani langkah kepergianku untuk kemandirian dan pendidikan.
Langkah yang terbetik keraguan dipertegar oleh ayunan langkah di belakangku,
langkah orang-orang yang telah pasih di mataku. Mereka adalah Ibu tercinta,
Kakak, Abang dan Keponakan-Keponakan tersayang. Langkah kami terhenti di
samping mobil putih yang sejak tadi menunggu penumpang terakhirnya yaitu Aku.
Ku balikkan tubuhku
yang telah bergelayutan barang-barang keperluanku, sebuah ransel yang cukup
besar di punggungku, dan tentengan kresek di tangan kanan dan tangan kiriku.
Kemudian, ku tatap setiap pasang bola mata yang akrab itu dengan penuh
pengharapan dan tanya “Apakah aku bisa?”, dari bola-bola mata mereka Aku
mendapat tamparan semangat dan keyakinan, seolah-olah mata-mata itu berkata
“Pergilah, lakukan yang terbaik, kamu pasti bisa!”.
Dari dalam mobil terdengar celoteh-celoteh
penumpang lainnya karena tidak sabar dan ingin segera berangkat. Acara
tatap-tatapan pun harus diakhiri, Ku letakkan kresek yang dari tadi menarik
tanganku dan kuhampiri Ibu dan saudaraku serta mencium tangannya sebagai tanda
mereka mengizinkan dan mengikhlaskan kepergianku yang insyaallah mulia ini. Itu
juga yang dilakukan keponakan-keponkan terhadapku, menyalami dan mencium
tanganku sebagai penggambaran mereka menghormatiku sebagai Aciknya dan ikut
senang atas apa yang Aku lakukan.
Adegan berpamitan pun
telah usai, ku raih kembali kresek yang terisi penuh dengan berbgai macam
barang, mulai dari alat-alat dapur sampai keperluan mandi. Ku tegapkan
langkahku menuju mobil agar tiada risau di hati keluarga yang akan jauh di mata
namun dekat di hati ini. Kemudian aku angkat kaki kananku menaiki mobil, dengan
keadaan hampir seluruh badan masuk mobil, Aku terkaget karna dipanggil
keponakanku yang nomor dua yang membuat kepalaku terbentur pada bagian atas
pintu mobil, “Aauuuwwh!!!” teriakku. Aku pun terbangun dari tidur, ternyata
kepalaku terbentur meja yang disamping tempat tidur, rasanya lumayan sakit, Ku
usap-usap keningku yang terbentur agar berkurang rasa sakitnya.
Sayup-sayup terdengar
suara azan subuh, Aku pun beranjak dari tempat tidur untuk berwuduk dan shalat
subuh. Suasana kos masih sepi, pintu-pintu kamar disetiap lorong masih tertutup
rapat, menandakan keluarga baruku masih terbuai mimpi indah tidur mereka. Suara
kran air memecah kesunyian pagi ini, air wuduk membasahi setiap bagian tubuhku
yang telah menjadi jatahnya, segar sekali rasanya. Satu persatu pintu kamar pun
berderik, penghuni kamar mulai memenuhi kewajibannya kepada sang Khalik.
Sebelum terjadi antrian panjang Aku segera meninggalkan tempat berwuduk menuju
kamar paling depan dengan angka satu di pintunya.
Hari ini Aku tidak
kuliah, jadi Aku hanya bersantai di kamar, duduk di atas tempat tidur dan membayangkan
kembali mimpiku yang baru saja berakhir dengan kurang mengasyikkan sambil
mengusap-usap kening yang terbentur meja tadi. Terbayang perjuangan orang tua
untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang kuliah ini, apalagi dengan kehidupan
yang sederhana dan hanya Ibu yang mencari uang semenjak meninggalnya Ayah, usia
Ibu juga sudah tua, hal itu bukanlah mudah untuk dijalani. Ku menghela nafas
panjang dan merebah ke tempat ternyaman di kos ku ini.
***
Kejenuhan yang terasa
di kos sejak pagi tadi memudar saat Gina
teman satu kosku mengajakku pergi ke suatu tempat perbelanjaan. Awal
perjalanan, ku senang bisa menghilangkan rasa suntuk dan keluar melihat suasana
baru. Namun rasa senang itu hilang seketika saat mataku tertuju pada seorang
laki-laki berjalan beriringan dengan seorang wanita cantik menggunakan celana
jens biru, baju kaos pink dan jilbab pink yang dililitkan dilehernya. Jantungku
mulai berdegup kencang dan hatiku sedikit tersayat, hatiku bertanya-tanya,
seolah tak percaya. Untuk memastikannya aku menghampiri mereka tanpa ku sadari,
Gina ku tinggalkan sendiri. Semakin dekat, semakin jelas, dan semakin aku yakin
kalau laki-laki itu adalah Fajri pacarku. Ku kuatkan lahir batin untuk
bercengkrama dengan mereka.
Obrolan singkat tapi
kurasa bagai setahun itu baru membuatku sadar kalau laki-laki yang ku sayang
ini telah mencoba mencintai wanita lain dan perlahan melangkah meninggalkanku.
Wanita bernama Tia itu tetap menyangka kalau diriku adalah teman SMA Fajri,
mungkin lebih baik begitu. Fajri tidak berkata sepatah kata pun, dia hanya diam
dengan wajah memerah, penuh rasa bersalah, kecewa, sedih, dan penyesalan.
Seolah-olah dia bertanya dalam hati, apa yang telah ku lakukan, kenapa bisa
sejauh ini. Dengan senyum pahit menahan tangis ku pergi meninggalkan mereka.
Kos sederhana menjadi
saksi perihnya hatiku, menjadi wadah tumpahan air mata goresan lukaku, dan
sebagai pendengar setia isak tangis dukaku karenanya, kutumpahkan semuanya di
sini. Malam pun menghampiri, aku yang lemas kehabisan tenaga hanya terbaring di
tempat tidur. “Zzztt...zzztt” tanda pesan masuk di Hpku, perlahanku buka pesan
itu dan tertera.
“Gadisku...maaf
atas semua yang telah kulakukan, aku menyesal telah mengecewakan wanita sebaik
kamu. Bisa aku jelaskan semuanya. Dis... Bisa kita bertemu dan bicara??”
Hatiku makin tak
menentu setelah membaca pesan darinya.`Dengan tenaga yang tersisa aku membalas
pesan tersebut.
“Aku
mengenalmu Fajri, kamu tidak akan pergi dengan seorang wanita manapun kalau
tidak ada rasa, kita tidak perlu bertemu untuk membahas ini... Jika kamu memang
mencintainya dengan hati dan bahagia bersamanya... maka tetaplah bersamanya,,
sayangi dan jaga dia seperti kamu menjaga adik perempuanmu sendiri. Aku tau,
aku tak bisa menjadi seperti yang kau
inginankan, slalu bisa di sampingmu... aku sadari itu, tapi bukan pacaran
seperti itu yang aku inginkan. Jika kamu bahagia, insyaAllah aku juga akan
bahagia dengan caraNya. Tapi satu hal yang harus kamu tau, aku tak akan mencari
yang lain. Cukup satu pacar dalam hidupku, aku hanya akan menunggu jodohku
datang melamar dan menjadikanku istrinya. Biarlah waktu yang menjawab semua
rasa ini”.
inilah pesan terakhir
yang ku kirim padanya. Setelah itu kami tidak ada komunikasi. Hubungan kami pun
ntah apa akhirnya.
Rasa sakit dan sedih yang cukup dalam
kurasakan, sempat membuat aku tidak semangat dalam kuliah, sampai suatu hari
temanku datang menghampiriku. Dengan wajah sedih ia bercerita bahwa kemungkinan
kebersamaan kami di kampus akan segera berakhir, seribu pertanyaa mondar-mandir
di kepaaku, mengapa begitu? Apa yang terjadi? Dengan perlahan dia jelaskan,
setelah ayahnya meninggal, ekonomi keluarganya menurun drastis sehingga tidak
bisa membiayai kuliahnya lagi.
Saat itu aku bagai
tersambar petir disiang bolong, apa yang telah aku lakukan, mengapa aku seperti
ini, haruskah aku mengecewakan Ibu hanya karena permasalan cinta.
Terbayang-bayang kembali kehidupan Ibu dan keluargaku, susahnya mencari dana
untuk kuliahku dan teringat kembali pertama kali mereka melepaskan ku pergi
kuliah dan pesan mereka padaku agar belajar dengan baik dan harapan sukses
mereka.. Ku coba menenangkan diri dan temanku, ku katakan padanya menangislah
jika itu perlu, jika itu membuatmu tenang, jangan malu, calon guru juga
manusia, punya masalah dan perasaan, ku kan disini menemanimu dan membantumu.
Semenjak itu, aku dan
temanku itu giat belajar dan aku juga membantunya untuk mendapatkan beasiswa.
Apa yang kami usahakan berakhir baik. Temanku mendapat beasiswa dan tetap
kuliah bersama sampai kami menggunakan pakaian toga dihari penting kami sebagai
lulusan sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan nilai yang
memuaskan dalam waktu tiga setengah tahun, peluk, tangis, dan tawa berbaur
dalam satu momen, tiada kata yang bisa ku ucap selain rasa syukur kepada Allah
yang telah memberikan semua ini.
Ku alihkan pandanganku
dari kerumunan wisuda itu. Terlihat Ibu berdiri dengan menggenggam tangannya, air matanya menetes bagai untaian mutiara dan
dia tersenyum. Senyuman paling indah yang pernah ku saksikan selama ku
mengenalnya, seharusnya ada laki-laki disampingnya, harusnya Ibu dalam
rangkulan Ayah menatap dan menunggu kedatanganku, tapi sudahlah. Aku pun
berlari menghampirinya, berlutut, dan memeluk erat tubuh hangatnya. Ku tatap
dalam-dalam matanya dan kami saling tersenyum, lirih ku dengar suaranya “Trima
kasih, anakku” Kata-kata terindah yang pernah ku dengar darinya. Tak palang
terkejutnya dibelakang ibuku telah berdiri pria dengan setangkai mawar merah di
tangannya, ia tersenyum penuh makna padaku. Matanya menatap penuh harap dan
kerinduan, aku hanya tersenyum dan ia pun tersenyum padaku. “Wajah yang tak
asing,” kataku. Akhirnya dia kembali, dia kembali bukan sekedar membawa mawar,
tapi juga sebuah cincin. Sambil berlutut yang disaksikan Ibu, dia melamarku.
2012
Karya:
Susdamita
1105111601
Tidak ada komentar:
Posting Komentar