KELAHIRAN DAN KONSEPSI ESTETIK
ANGKATAN 45
1.
Latar Belakang
Karya-karya angkatan 45 yang kita baca dan ketahui pada
saat sekarang ini bukanlah ada dengan sendirinya. Karya-karya tersebut
merupakan hasil pemikiran dan imajinasi para sastrawan yang terdesak oleh
tantangan zaman pada masa itu. Yaitu, masa penduduk Jepang dan masa revolusi di
Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa Jepang adalah
bangsa terakhir menjajah sampai akhirnya Indonesia meraih kemerdekaan. Para
sastrawan yang ada pada masa ini selain ikut berjuang dengan fisik dalam perang
kemerdekaan, mereka juga menyibukkan diri untuk mencoba merumuskan dan mencari
orientasi pada berbagai kemungkinan bangunan kebudayaan bagi Indonesia kedepan
Setelah merdeka Indonesia
memasuki era revolusi, yakni masa pembaharuan baik dari segi pemerintahan,
sosial, budaya dan kenegaraan. Hal ini juga memberi dampak pada sastrawan dan
hasil karya sastra mereka pada saat itu. Sehingga angkatan 45 memiliki konsepsi
estetik tersendiri.
Untuk mengetahui
konsepsi estetik ankatan 45 tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana
kelahiran angkatan 45 itu sendiri. Karena dasar konsepsi estetik angkatan 45
itu adalah proses kelahirannya.
2. PEMBAHASAN
A. Proses Kelahiran Angkatan 45
Angkatan 45 tidak dapat dilepaskan
dari lingkungan kelahirannya, yakni masa penduduk Jepang dan masa revolusi Indonesia.
Perjuangan bangsa yang mencapai titik puncak pada Proklamasi 17 Agustus 1945
beserta gejolak politik yang mengawali maupun mengikutinya, memberi pengaruh
sangat besar pada corak sastra.
Generasi yang aktif pada masa
revolusi 45 dipaksa oleh keadaan untuk merumuskan diri dan tampil menjawab
tantangan-tantangan zaman yang mereka hadapi. Selain ikut berjuang secara fisik
dalam perang kemerdekaan, mereka juga menyibukkan diri untuk merumuskan dan
mencari orientasi pada berbagai kemungkinan bangunan kebudayaan bagi Indonesia
kedepan.
Latar belakang perubahan politik yang sangat
mendadak pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) menjadi awal kelahiran karya
sastra Angkatan 45. Kehadiran Angkatan 45 serta karya sastra Angkatan 45
meletakkan pondasi kokoh bagi sastra Indonesia, karena angkatan sebelumnya
dinilai tidak memiliki jati diri ke-Indonesiaan. Jika Angkatan Balai Pustaka dinilai
tunduk pada “Volkslectuur”, lembaga kesustraan kolonial Belanda, dan Angkatan
Pujangga Baru dinilai menghianati identitas bangsa karena terlalu berkiblat ke
Barat, maka Angkatan 45 adalah reaksi penolakan terhadap ankatan-angkatan
tersebut.
Sebagai salah satu hasil dari
pergolakan, karya sastra Angkatan 45 menjadi sebuah karya yang lahir dengan
identitas baru yang penuh kontroversia. Kehadirannya sebagai pendobrak
nilai-nilai serta aturan-aturan sastra terdahulu membuat karya sastra Angkatan
45 menjadi pusat perhatian para sastrawan.
Para sastrawan penggerak karya sastra
angkatan 45 adalah mereka yang menaruh perhatian besar pada karya sastra Indonesia.
Mereka seolah ingin lepas dari pengaruh asing yang saat itu masih kuat
pengaruhnya terhadap karya sastra Indonesia.
Nama angkatan 45 sendiri dimunculkan
oleh Rosihan Anwar pertama kali pada lembar kebudayaan “Gelanggang”. Sejak itu,
penamaan yang dibuat Rosihan Anwar diakui dan disepakati banyak kalangan
sebagai nama angkatan sastra periode-40-an.
Angkatan 1945 memperoleh saluran
resmi melalui penerbitan majalah kebudayaan Gema
Suasana, Januari 1948. Majalah ini diasuh oleh dewan redaksi yang terdiri
dari Asrul Sani, Chairil Anwar, Mochtar Apin, Riva’I Apin dan Baharudin.
Majalah ini dicetak dan diterbitkan oleh percetakan Belanda Opbouw (Pembangun).
Dalam konfrotasi dengan Belanda, mereka kemudian pindah ke “Gelanggang”, sebuah
suplemen kebudayaan dari jurnal mingguan, siasat yang muncul pertama kali pada Februari 1948 dengan redaktur
Chairil Anwar dan Ida Nasution. Disuplemen inilah mereka kemudian menerbitkan
kredo Angkatan 45, yang dikenal luas dengan nama “Surat Kepercayaan
Gelanggang”.
B. Konsepsi Estetik Angkatan 45
Konsepsi estetik Angkatan 45
tergambar dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Dengan “Surat Kepercayaan
Gelanggang” inilah para penyair Angkatan 45 mendefenisikan diri dan konsep
estetik budayanya. Pendefenisian ini dilakukan sastrawan Angkatan 45 lewat
“pemisahan diri” dan kritik keras terhadap generasi sastra sebelumnya,
khususnya kritik dan pemisahan diri dengan visi budaya yang ditegakkan Sutan
Takdir Alisjahbana. Yang menjadi fokus pemisahan diri disini adalah pada
ideologi yang digunakan serta orientasi budaya.
Pemisahan konsep sastra dan visi inilah yang kemudian dijadikan banyak
pengamat sastra sebagai ciri utama angkatan 45 dibanding angkatan sebelumnya.
H.B. Jassin dalam banyak tulisannya mengemukakan terhadap pemisahan yang tegas
antara konsepsi sastrawan Pujangga Baru dengan konsepsi sastrawan generasi 45.
Andaian ini pulalah yang dianut dan dipercayai banyak sastrawan angkatan 45.
Karya sastra Angkatan 45 memiliki kedekatan yang intim dengan realitas
politik. Ini sangat berbeda dengan karya sastra Angkatan Pujangga Baru yang
cenderung romantik-idealistik. Karena lahir dalam lingkungan yang keras dan
memprihatikan karya sastra Angkatan 45 lebih terbuka, pengaruh unsur sastra
asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya, isinya bercorak realis dan
naturalis, meninggalkan corak romantis, sastrawan periode lebih individualisme,
dinamis dan kritis, adanya penghematan kata dalam karya, lebih ekspresif dan
spontan, terlihat sinisme dan sarkasme, didominasi puisi dan prosa berkurang.
Pada periode Angkatan 45 berkembang jenis-jenis sastra puisi, cerita
pendek, novel dan drama. Keadaan perang pada saat itu mempengaruhi penciptaan
sastra dalam permasalahan dan gayanya. Ada beberapa ciri stuktur estetik
Angkatan 45 baik pada karya sastra puisi maupun
prosa. Pada karya sastra puisi ciri struktur estetiknya yaitu, pertama, puisinya bebas, tidak terikat pada
pembagian bait, jumlah baris dan persajakan.
Kedua, gaya alirannya ekspresionisme dan realisme. Ketiga, pilihan kata (diksi) untuk mencerminkan pengalaman batin
yang dalam dan untuk intensitas arti. Ketiga,
bahasa kiasannya dominan metafora dan simbolik, kata, frasa dan kalimatnya
ambigu sehingga multitafsir. Keempat,
gaya sajaknya prismatis dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, hubungan
baris-baris dan kalimat-kalimat implisit. Kelima,
gaya pernyataan pikiranya berkembang yang nantinya menjadi gaya sloganis. Keenam, gaya ironi dan sinisme menonjol.
Pada karya sastra prosa, ciri stuktur estetiknya adalah banyak alur sorot
balik, walaupun ada juga alur lurus, digresi dihindari sehingga alurnya padat,
pada penokohan analisis fisik tidak dipentingkan, yang ditonjolkan analisis
kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis langsung melainkan dengan cara dramatik
melalui arus kesadaran dan percakapan antar tokoh, banyak menggunakan gaya
ironi dan sinisme, gaya realisme dan naturalisme, menggambarkan kehidupan
sewajarnya secara mimetik.
Inilah ciri struktur estetik dari karya sastra puisi dan prosa Angkatan 45,
yang membuat karya sastra Angkatan 45 menjadi karya sastra yang fenomenal dalam
sejarah sastra Indonesia.
C. Para Sastrawan Angkatan 45
Para sastrawan yang menjadi motor dan pelopor Angkatan 45 adalah para pencipta
karya sastra Angkatan 45 yang begitu fenomenal di dunia sastra. Mereka adalah:
1. Chairil
Anwar
Chairil Anwar merupakan sastrawan terpenting Angkatan 45, sekaligus
sastrawan Indonesia yang palin dikenal luas oleh masyarakat. Sastrawan
kelahiran Medan, 26 Juli 1922 dan tutup usia di Jakarta, 28 April 1949 ini
tumbuh menjadi legenda. Banyak kalangan yang menjadikan hari kematiannya
sebagai hari sastra nasional.
Masa-masa kehadiran Chairil Anwar adalah masa-masa yang menarik untuk
menciptakan karya sastra. Karena pada masa itu, secara sosial merupakan masa
revolusioner Indonesia dari bangsa terjajah menuju gairah kemerdekaan dari
sebuah bangsa yang muda. Selain itu Chairil juga tumbuh dalam sebuah komunitas
Alisyahbana muda yang membara, menolak ketentraman lama. Di sana, tradisi silam
ditolak tegas serta dianggap mandul dan membekukan.
Sajak-sajak Chairil sendiri tidaklah banyak jumlahnya dan tidak semuanya
berkualitas, namun cukup banyak sajak-sajak yang hinga kini menunjukkan
kualitas yang prima. Chairil Anwar menjadi masyhur lewat sajak-sajak “Aku”,
“Perjanjian dengan Bung Karno”, “Diponegoro”, “Siap Sedia”, dan “Karawang
Bekasi”. Dikalangan kritikus, Chairil juga dipuji berkat sajak-sajaknya yang
indah seperti,”Senja di Pelabuhan Kecil”, “Derai-Derai Cemara”, “Kawanku dan
Aku” serta “Cinta Jauh di Pulau”.
Karya sastra Chairil Anwar dipengaruhi oleh sastrawan dunia seperti Rainer
N.Rilke, W.H Auden, Archibald Macleish, H. Marsman, J. Slawurhoff dan Edgar
Duperron. H.J Jassin adalah orang yang ikut dalam mempopulerkan karya-karya
Chairil Anwar. Faktor penting lain yang menjadikan Chairil legenda adalah gaya
hidupnya yang bohemian dan kenyataan bahwa ia mati muda. Chairil bisa diangap
sebagai sosok seniman optima performa dalam citra romantik.
2. Idrus
Idrus dilahirkan pada 21 september 1921 di Padang. Ia mengikuti pendidikan
di HIS, Mulo, AMS-SMT dan tamat pada 1943. Selesai sekolah, ia menjadi redaktur
Balai Pustaka. Idrus juga menjadi kepala bagian pendidikan Garuda
IndonesiaAirways, sampai oktober 1952.
Idrus mulai menulis berupa sketsa-sketsa, cerpen dan naskah sandiwara.
Tulisan-tulisannya hampir semuanya berupa laporan pandangan mata. Namun,
beberapa diantaranya boleh dikatan mencerminkan perjalanan pandangan mengenai
hidup dan berbagai persoalan.
Idrus banyak dipengaruhi oleh pengarang-pengarang Rusia seperti Ilya Ehrenburg
dan Vsevolod Ivanov. Karya-karya dari Idrus diantaranya, sketsa “Coret-Coret di
Bawah Tanah”. Sandiwara Ave Maria,
Keluarga Surono, Lukisan Pujangga, Kejahatan Membalas Dendam, Dr. Bhisma dan
Jibaku Aceh.
3. Asrul
Sani
Asrul Sani lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1927. Menempuh pendidikan
di HIS Bukittinggi, KWS di Jakarta, Taman Dewasa, Perguruan Taman Siswa
Jakarta, Sekolah Dokter Hewan Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Indonesia di Bogor, Akademi Seni Drama di Amsterdam, USC, Departeman of the
Antre-Departeman of Cinema di Los
Angeles.
Asrul Sani menjelajahi berbagai bidang kesenian, mulai dari sastra hingga
film, mulai dari esai hingga sinetron. Gaya sajaknya mencerminkan kecendrungan
umum sebagaimana yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Karya skenario Asrul Sani
diantaranya Burung Camar, Pintu Tertutup,
Monserrat, dan Yerma. Naskah dramanya yang telah terbit sebagai buku adalah Naga Bonar dan Mahkamah.
4. Sitor Situmorang
Sastrawan kelahiran Harian Boho, Samosir, 2 Oktober 1923 ini memulai
pendidikannya di Mulo. Setelah lulus Mulo di Tarutung, ia melanjutakan studinya
di AMS Jakarta, tetapi tidak tamat. Pada awal masa revolusi ia bekerja sebagai
wartawan di Medan. Pada tahun 1948 ia berangkat ke Yogyakarta.
Dalam puisi-puisi modernnya Sitor Situmorang berbeda dengan Chairil Anwar,
Sitor Situmorang sering memanfaatkan khasanah berpuisi lama. Karya-karya Sitor
Situmorang yang telah diterbitkan pada berbagai koran dan majalah yaitu Jalan Mutiara, Surat Kertas Hijau, Dalam
Sajak, Wajah Tak Bernama, Zaman Baru, Angin Daananu, Dinding Waktu, Peta
Perjalanan, dan sebuah cerpen yang berjudul Pertempuran dan Salju di Paris.
5. Muhammad
Ali
Pada 23 April 1927 Muahammad Ali lahir di kampung Ketapang kawasan Ampel,
Surabaya. Muahmmad Ali bersekolah di GHAS, kemudian melanjutkan di MULO namun
tidak tamat. Pada masa pendudukan Jepang ia mengikuti kursus kebudayaan (Keimin Sidhoso) dan setelah itu ia belajar
secara otodidak dalam berbagai hal yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis.
Walaupun otodidak Muhammad Ali tidak merasa rendah diri, ia pun sudah
berkali-kali berceramah di lingkungan perguruan tinggi.
Muhammad Ali mulai mengarang sejak tahun 1942. Sebagai pengarang ia pernah
mengasuh majalah Mimbar Pemuda,
Mingguan Pahlawan, Cetusan, Bakat,
dan majalah Fithrah. Muhammad Ali
dikenal sebagai sastrawan serba bisa. Karena
ia menulis cerpen, novel, naskah drama dan puisi.
Karya-karya sastra Muhammad Ali yaitu naskah drama yan pernah ditulisnya
antara lain Si Gila, Kembali Kepada Fithrah, serta sandiwara
radio seperti lapar dan Sel 13. Ali juga menulis Novel
diantaranya Kiamat, kubur Tak Bertanda,
dan Ibu Kita Raminten. Karya sastra
cerpen yang ditulisnya yaitu Buku Harian
Pengangur dan Gerhana. Selain menulis kumpulan puisi berjudul Bintang Dini, Ali menulis juga buku esai
seperti Izinkan Saya Bicara, Mari
Mengarang Cerpen, Nyanyian Burdah, Teknik Penulisan Skenario Drama dan Film,
Aktor dan Artis, Teknik Penghayatan Puisi, Ikhwal Dunia Sastra, Kamus Bahasa
Indonesia, dan Puitisasi Jus Amma.
6. Toto
Sudarto Bachtiar
Toto Sudarto Bachtiar dilahirkan 12 Oktober 1929 di Paliman, Cerebon.
Mengenai pendidikannya, Toto menamatkan sekolanya di Cultuurschool Tasikmalaya
dan melanjutkan ke MULO Bandumg dan lulus tahun 1948. Toto Sudarto Bachtiar
memasuki dinas ketentraan, dimasa revolusi.
Dalam hal bersajak Toto Sudarto Bactiar secara struktur dan pengolahan
bahannya tidak jauh berbeda dengan Chairil Anwar. Perbedaan yang terlihat cukup
jelas pada sikap dan cara pandang mereka terhadap kehidupan. Sajak-sajak yang
diciptakan Toto antara lain Gadis
Peminta-minta, Ibu Kota Senja, Malam
Laut, Tentang Kemerdekaan, dan Pahlawan
Tak Dikenal.
2. SIMPULAN
Karya sastra Angkatan 45 lahir pada masa peralihan bangsa yaitu dari masa
penjajahan Jepang menuju kemerdekaan. Pada Angkatan 45 karya sastra didominasi
oleh puisi, prosa tampak berkurang. Konsepsi estetik Angkatan 45 tergambar
dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”
Para penggerak Angkatan 45 yaitu para sastrawan yang ada pada masa itu
seperti Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Muhammad Ali, Toto
Sudarto Bachtiar. Para sastrawan Angkatan 45 ini memiliki ciri khas
masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman,
Elmustian dan Jalil, Abdul. 2003. Bahan
Ajar Sejarah Sastra.
Pekanbaru: Unri Press
muntijo.wordpress.com/2011/07/29/ciri-ciri-estetik-intrinsik-dan-ekstra-estetik-ekstrinsik-dalam-periode-periode-sastra-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar