BAB I Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang Pemikiran
Sebagaimana kita ketahui sastra tidak
bisa kita lepaskan dari kehidupan kita. Semenjak kita masih balita, kita telah
mengenal yang namanya sastra yaitu berupa dongeng-dongeng yang diceritakan oleh
orang tua ataupun kakak-kakak kita. Seiring berjalannya waktu sastra pun
semakin kita kenal dan tidak hanya berupa dongeng, melainkan bentuk sastra
lainnya seperti puisi, cerpen, novel ataupun film yang bisa digolongkan pada
jenis karya sastra puisi, prosa, dan drama.
Kita sebagai mahasiswa apalagi jurusan
bahasa dan sastra Indonesia tentunya telah banyak karya sastra yang telah kita
baca ataupun kita buat sendiri. Namun dalam membaca teks karya sastra, kita
masih berpandangan satu arah dengan mengikuti pendapat atau simpulan yang telah
dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan pemaknaan cerita dengan hanya
membaca dan mentelaah teks secara umum saja.
Kita pada saat ini telah berada pada
masa postmodernisasi, pandangan-pandangan seperti diatas tidak diinginkan dalam
sastra. Pada masa ini kita dituntut untuk lebih kritis dalam membaca karya
sastra, sehingga muncullah metode-metode pembacaan teks seperti dekonstruksi.
Dekonstruksi menolak pandangan bahwa
bahasa memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan, sebagaimana halnya
pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungakapn atau bentuk-bentuk
kebahasaan yang bermkana tertentu dan pasti. Hal ini yang menjadikan paham
dekonstruksi sebagai poststrukturalisme.
Dengan
menggunakan metode dekonstruksi dalam membaca teks diharapkan kita bisa melihat
fakta-fakta lain dalam teks karya sastra. Sehingga tidak ada kemutlakan dalam
memaknai karya sastra dan menghilangkan anggapan-anggapan yang absolut serta
menemukan hal-hal baru yang pada awalnya terabaikan.
1.2 Permasalahan
Masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini yaitu:
1.2.1
Bagaimana
pengertian dekonstruksi?
1.2.2
Bagaimana
sejarah dekonstruksi?
1.2.3
Siapa
tokoh-tokoh dalam dekonstruksi?
1.2.4
Apa
saja prinsip-prinsip dalam dekonstruksi?
1.2.5
Bagaimana
dekonstruksi aliran Amerika?
1.2.6
Bagaimana
metode penelitian dekonstruksi?
1.2.7
Contoh
tulisan dengan metode dekonstruksi.
1.2.8
Apa
tujuan dari teori dekonstruksi?
1.2.9
Bagaimana
penerapan dan sistematika dekonstruksi?
1.2.10 Apa pengaruh dekonstruksi terhadapa
kajian budaya?
1.2.11 Apa kelebihan dan kelemahan dari teori
dekonstruksi?
1.3
Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk:
1.3.1
Mendeskripsikan
pengertian dekonstruksi.
1.3.2
Mendeskripsikan
sejarah dekonstruksi.
1.3.3
Mendeskripsikan
tokoh-tokoh dalam dekonstruksi.
1.3.4
Mendeskripsikan
prinsip-prinsip dalam dekonstruksi.
1.3.5
Mendeskripsikan
dekonstruksi aliran Amerika.
1.3.6
Mendeskripsikan
metode penelitian dekonstruksi.
1.3.7
Mendeskripsikan
contoh tulisan dengan metode dekonstruksi.
1.3.8
Mendeskripsikan
tujuan dari teori dekonstruksi.
1.3.9
Mendeskripsikan
penerapan dan sistematika dekonstruksi.
1.3.10 Mendeskripsikan dekonstruksi terhadapa
kajian budaya.
1.3.11 Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan
dari teori dekonstruksi.
BAB II
Dekonstruksi
2.1 Pengertian dekonstruksi
Dari
sumber (http://yesalover.wordpress.com/2007/03/16/dekonstruksi-derrida-upaya-untuk-memecah-mecah-konsep/)
terdapat
beberapa pengertian dekonstruksi menurut para ahli yaitu sebagai berikut, secara
leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan.
Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap
konstruksi, yaitu gagasan.
Kristeva
(1980:36-37), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat
destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai
strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi
semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks
yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi,
kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak
terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan,
melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan
hakikat wacana.
Menurut
Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang
kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka,
sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.
Dari
sumber lain, dekonstruksi dikatakan sebagai sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut.
Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai
konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak
mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam
sejarah. (http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi).
Umar
Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam
penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan
segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk
melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu
aturan yang dianggap telah berlaku universal.
Dekonstruksi,
secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang
bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat
pada diri ini ke hadapan kita.
Inilah beberapa pengertian dari
dekonstruksi. Salah satu tokoh dekonstruksi yaitu Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu
cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu
kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final.
Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu
kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek
absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis
terhadap teks.
2.2 Sejarah Dekonstruksi
Dalam
bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang
sangat sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme
pada umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi
sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap
logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi
biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Konsep
dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya
yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences
“,di universitas Johns Hopkins tahun 1966.
Aliran
dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada
dasarnya, menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar
tradisi metafisika barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme
Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian dan
Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika
wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan
megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di
Amerika, sebagai aliran yale.
2.3
Tokoh-tokoh dalam Dekonstruksi
Dekonstruksi
yang kita ketahui sekarang ini tidaklah
hadir dengan sendirinya, melainkan hadir melalui ilmuan-ilmuan yang ahli
dibidangnya. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang
Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di
Perancis.
Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930
di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris, Perancis tanggal 8 Oktober 2004
–Karena itu Derrida lebih dikenal sebgai filosof Perancis daripada filosof
Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat,
terutama kritik dan analisis mengenai bahasa “alam”, tulisan, dan makna sebuah
konsep. Dekonstruksi merupakan alat yang digunakannya untuk meruntuhkan
konsep-konsep dan deskripsi-deskripsi kita selama ini. tokoh selanjutnya adalah
Nietzsche. Selain itu di Amerika terdapat juga tokoh dekonstruksi yaitu Paul de
Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.
2.4 Prinsip-prinsip
dalam Dekonstruksi
Prinsip-
prinsip yang terdapat dalam teori dekonstruksi adalah:
1.
Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna
ironi)
2. Membalikkan
atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan
Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh
Nietzsche (Culler, 1983:86-87) dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk
memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-akibat. Prinsip sebab-akibat
selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya sebagai gejala
minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum
universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala
bahasa dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang
lain.
Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui
pembagian lambang-lambang menjadi penanda dan petanda. Dekonstruksi
menolak keputusan tersebut dengan cara terus menerus berusaha melepaskan diri,
sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Saussure (Eagleton,
1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.
Derrida (Spivak, 1976:xliii) menjelaskan peristiwa diatas
dengan istilah differEnce dan differAnce, dua kata yang ucapannya
hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua
kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang sekaligus
berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer
(menuda) yang berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan
kerangka ruang dan waktu dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari
bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan kehadiran yang tertunda. Makna kata difference
berada dalam posisi yang mengambang antara to differ dan to defer,
keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh
mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan
makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang
dan waktu. Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak
sekaligus perbedaan. Derrida menjdai terkenal karena konsep dekonstruksi,
logosentrisme, fonosentrisme, differEnce / differAnce, trace, dan
dencentering.
Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh
Derrida tahun 1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa
Saussure dan antropologi Levi-Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference
dan differance, bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun bahasa Perancis
dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui ucapan,
melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan
ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya
hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya,
lambang mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.
Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah
doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai
pusat, sedangkan tulisan sebagai non pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih
dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan mengimplikasikan subjek yang
berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan tulisan yang
bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.
Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik
menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah
tertulis, dan dengan demikian bahasa pun sudah tertulis. Menurut Rousseau,
ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa lisan. Di
pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan kebudayaan
yang dengan sendirinya sudah tertulis.
2.5 Dekonstruksi Aliran
Amerika
Aliran
dekonstruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada
dasarnya, menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar
tradisi metafisika barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme
Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian dan
Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika
wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan
megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di
Amerika, sebagai aliran yale.
Tokoh-tokoh deonstruksi Amerika diantaranya: Paul de Man,
J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, dan Harold Bloom. Paul de Man
(Eagleton,1983:145;Selden,1986:96) lahir di Belgia, merupakan seorang Filolog
dan kritikus sastra. Paul de Man memandang bahwa semua bahasa bersifat
metafora, bahasa sastra mendekonstruksi hakikatnya sendiri. Hillis Miller
memusatkan perhatian pada dekonstruksi rekaan Goeffery Hartman memusatkan
perhatian pada sastra kontemporer, teks-teks injil, dan kritik kebudayaan.
Harold Bloom menggabungkan teori trope atau bahasa kias, psikologi Freut dan
teks injil.
2.6 Metode Penelitian
Dekonstruksi
Karya
sastra adalah cipta seni yang bermediumkan bahasa yang dominan Unsur
estetiknya. Bahasa yang dipakai sebagai medium di dalam karya sastra
menggunakan bahasa tingkat kedua (significance) atau konvensi tambahan
(Preminger via Pradopo, 1995: 121). Penggunaan bahasa tingkat kedua dalam karya
sastra memungkinkan lahirnya penafsiran yang banyak terhadap karya sastra
tersebut. Oleh karena itu, upaya untuk menemukan makna tunggal dari sebuah
karya sastra adalah sesuatu yang mustahil. Sebab setiap penemuan jejak makna
dalam sebuah teks, akan melahirkan jejak baru dibalik makna tersebut (Derrida
dalam Norris, 2003: 12).
Dekonstruksi
menolak adanya gagasan makna pusat. Pusat itu relatif. Ia mengingkari makna
monosemi (Selden, 1985:88). Jadi untuk pemaknaan ini sangat longgar. Oleh
karena itulah banyak tafsir terhadap objek. Menurut Norris (2003:24)
dekonstruksi merupakan strategi untuk membuktikan bahwa sastra bukanlah bahasa
yang sederhana.
Hakekat
dekonstruksi adalah penerapan pola analisis teks yang dikehendaki oleh peneliti
dan menjaga teks agar tetap bermakna polisemi. Di dalam penafsirannya selalu
terjadi proses membedakan dan menangguhkan (difference). Istilah difference
ini diungkapkan pertama oleh Derrida untuk menyatakan ciri tanda yang
terpecah. Di sini dipilih unit wacana yang mampu menimbulkan kebuntuan makna
atau satu figur yang menimbulkan satu kesulitan untuk dijabarkan. Bagian ini
disebut titik aphoria (Norris, 1982:49). Titik aphoria selanjutnya
akan menimbulkan alusi. Ketika ditemukan sebuah inti wacana yang
mengalami kebuntuan maka akan timbul asosiasi dengan teks lain atau peristiwa
yang senada dengan yang dihadapi. Hal ini bisa dilakukan dengan cara
mempertentangkan atau menyejajarkan dengan unit wacana yang dihadapi.
Penyejajaran atau pertentangan bisa dihubungkan dengan unit wacana lain di
dalam teks yang sama (retrospektif) atau bisa dengan melacaknya di luar
obyek (prospektif). Jadi cara ini seperti bermain bebas (free play).
Dekonstruksi
sangat percaya kepada teks. Teks mempunyai otonomi yang luar biasa, segalanya
hanya dimungkinkan oleh teks (Junus, 1985:98). Lebih lanjut Umar Junus
mengatakan bahwa sebuah teks punya banyak kemungkinan makna sehingga teks
sangat berbeda. Seorang pembaca tak akan mengkonkretkan satu makna saja, tetapi
akan membiarkan segala kemungkinan makna hidup, sehingga teks itu ambigu.
Dekonstruksi lebih menumpukan kepada unsur bahasa. Bahkan dapat dikatakan
dekonstruksi bertolak dari unsur bahasa yang kecil untuk kemudian bergerak maju
kepada keseluruhan teks. (1985:99).
Metode
dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi
metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi
ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan
(Sarup, 2003:77-79). Metafora mewakili salah satu cara dari penyusunan wacana
dan secara kuat mempengaruhi pemahaman teks berbagai hal. Dekonstruksi
dilakukan terhadap teks metaforis yang disusun oleh penulis. Dekonstruksi bisa
terjadi pada teks itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah
teks.
Kata-kata
yang dipakai dalam bahasa karya sastra bersifat denotatif sekaligus konotatif.
Pengalaman batin bisa muncul dari asosiasi pikiran dengan arti kata-kata,
tetapi sering juga lewat bunyi kata. Pertalian pikiran yang timbul dari kata
bisa melayang, meledak, suci, murni, hitam, legam dan seterusnya. Hal ini bukan
hanya terjadi dari katanya tetapi bisa juga dari bunyi katanya. Kesadaran akan
adanya asosiasi itu melahirkan kecenderungan kepada simbolisme
Sebagai
langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi Derrida pun kemudian
menggunakan istilah “trace” sebagai konsep dalam menelusuri makna. Trace
(jejak) bersifat misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan
pembentuk tulisan, menembus dan memberi energi pada aktivitasnya yang
menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak terus
menerus dan meloncat-loncat.
Pengarang
di dalam mengemukakan perasaannya sering tidak secara langsung. Kadang-kadang
lewat peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol. Di sinilah letak pentingnya
pengalaman dan pengetahuan pembaca untuk bisa menangkap pesan tersebut. Bekal
pengetahuan yang Jausz disebut sebagai horizon harapan ini sangat penting dalam
upaya mencari jejak (trace) sebagai metode pemaknaan dekonstruksi.
Dengan bekal itu pembaca akan bisa mengisi tempat kosong dalam teks, karena
memang sifat karya sastra itu multiinterpretable (Pradopo, 1985:185).
Inilah penggambaran dari metode penelitian dekonstruksi tersebut.
(http://staff.undip.ac.id/sastra/fauzan/2009/07/22/dekonstruksi-terhadap-figur-keturunan-darah-biru/)
2.7 Contoh Tulisan
dengan Metode Dekonstruksi
Cara pembacaan dengan dekonstruksi
dapat digunakan terhadap novel-novel pada umumnya. Disini penulis mengambil
contoh cara pembacaan dengan dekonstruksi pada novel Siti Nurbaya.
Pada umumnya pembaca beranggapan
bahwa Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis yang hero, tokoh putih, sedang
Datuk Maringgih merupakan tokoh antagonis yang serba jahat, tokoh hitam. Melalui
cara dekonstruksi, keadaan itu justru akan terbalik.
Samsul Bahri bukanlah seorang
pemuda hero, melainkan seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme
sempit. Hanya karena kegagalan cintanya terhadap seorang gadis ( yang kemudian
ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya: putus asa dan bunuh diri. Hal itu
menunjukkan secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah
ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga,
ia memutuska masuk serdadu kompeni. Belakangan, ketika di daerah Sumatra Barat,
yang merupakan tanah kelahirannya terjadi pemberontakan karena masalah
blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat,
ia berangkat ke medan tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam
terhadap Datuk Maringgih yang menjadi biang keladi kegagalan cintanya. Apapun
alasannya hal itu berarti ia memerangi bangsanya sendiri dan justru berdiri di
pihak membela kepentingan penjajah.
Dilihat dari dekonstruksi Jaus,
yaitu yang mempertimbangkan aspek historis yang berwujud “sejarah” tanggapan
pembaca dari masa ke masa, perbuatan Samsul Bahri dewasa ini, sesuai dengan
konteks sosial yang ada, justru dapat ditanggapai sebagai perbuatan menghianat
bangsa. Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata
didorong oleh motivasi pribadi. Ia sama sekali bukan seorang pahlawan, bahkan
bukan pahlawan cinta sekalipun.
Datuk Maringgih, di pihak lain,
walau dia diakui banyak orang sebagai tokoh jahat, bandot tua yang doyan
perempuan namun hal ini pun yang menganggapnya baik, misalnya ia justru
dipandang sebagai pahlawan cinta seperti dalam nyanyian kelompok bimbo justru
dapat dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdimensi baik. Dialah yang menjadi
salah seorang tokoh yang menggerakkan pemberontakkan terhadap penjajah Belanda
itu, walau hal itu dilakukan terutama juga karena motivasi pribadi: dia yang
paling banyak kena pajak. Apapun motivasinya, ia menjadi tokoh pemberontak.
Artinya, dia adalah tokoh pejuang bangsa, yang seberapa pun kecil andilnya,
bermaksud mengenyahkan penjajah dari bumi Indonesia. Dengan demikian, justru
dialah yang “berhak” disebut pahlawan dan bukannya Samsul Bahri.
Ahmad Maulana dan Halimah, dalam
novel Siti Nurbaya itu, hanya
merupakan tokoh pinggiran yang umumnya dianggap kurang penting. Namun, jika
dipahami betul pesan-pesan penting yang ingin disampaikan lewat novel itu, akan
terlihat kedua tokoh itu sebenarnya amat berperan. Dengan perbincangannya
dengan Nurbaya, Ahmad Maulana inilah yang mengungkapkan kejelekan-kejelekan
perkawinan poligami yang sebenarnya lebih baik menyengsarakan wanita dan
anak-anaknya. Sikap dan pandangan hidup Nurbaya, sebenarnya, banyak dipengaruhi
oleh sikap dan pandangan hidup kedua tokoh tersebut.
Inila contoh pembacaan sastra
dengan dekonstruksi. Pemahaman dan keyakinan yang telah dikonvensional selama
ini diruntuhkan dengan teori ini, dimana posisi dan kondisi yang telah dikonvensionalkan
itu berubah menjadi bertolak belakang.
2.8 Tujuan Dekonstruksi
Menurut Sarup (2003:51)
dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika Barat seperti
fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada
umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi,
disattu pihak mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak
lain membongkar metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.
Sedangkan tujuan metode
dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran
absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak
kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.
2.9 Penerapan dan
Sistematika Dekonstruksi
Pada awalnya, dekonstruksi adalah
cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke
dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks
tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habishabisan terhadap makna literal
teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut,
yang mungkin bisa mengarahkan ke makna makna alternatif, di pojok-pojok teks
(termasuk catatan kaki) yang diabaikan.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di
dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan
untuk tidak memutuskan (undacidabality), yang mengkhianati setiap stabilitas
makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.
Proses penulisan selalu
mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih
umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah
sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teksm dan mengapa
term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa
yang ia cari untuk didekonstruksi, sehinggga titik pengekalan selalu
dilokasikan di tempat yang berbeda.
Ini juga memastikan bahwa setiap
upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati.
Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu
maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada
hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan
untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami
pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-kaya
awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi
kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan
ini” atau “dekonstruksi melarang itu”.
Namun, ada ciri tertentu dari
dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida
dilandaskan pada keyakinkannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tidak
bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat.
Kekhasan cara baca dekonstruktif,
yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofi, adalah
bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekedar
inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat
dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme.
Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang
memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu
sendirilah yang dipersoalkan.
Filsafat yang pada dasarnya adalah
tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka
fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana
transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran rill yang ekstralinguistik,
atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul
benar.
Sistematika penerapan dekonstruksi
dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama,
mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, dimana biasanya terlihat
peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
Kedua,
oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di
antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang
ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Dengan langkah-langkah semacam ini,
pembaca dekonstruksi berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan dekonstruksi
berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna yang lebih
benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan
pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya
teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
2.10 Dekonstruksi
Terhadapa Kajian Budaya
Dalam kajian budaya, dekonstruksi
Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, makna kini tidak
lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil,
tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran tunggal,
yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat,
dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
Secara sepintas, seoalah-olah tidak
ada tawaran “konkret” dari metode dekonstruksi. Namun, yang dimaui oleh
dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut
membangun teks. Teks dan kebudayaan tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna
yang utuh, melainkan sebagai arena pertarungan yang terbuka. Atau epatnya,
permainan antara upaya penataan dan chaos, antara perdamaian dan perang, dan
sebagainya.
Dalam kesusastraan, misalnya,
dekonstruksi ditujukan sebagai metode pemabacaan kritis yang bebas, guna
mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud pengarang.
Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang
dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang
plural, tanpa klaim, absolut atau universal.
Dalam proses itu, penafsir juga
tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa
dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah dibaca.
Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si
pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan
pengarang lain yang mempengaruhinya.
Dekonstruksi, seperti juga
pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep
pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan
terhadap perbedaan, dsan membuka diri terhadap yang lain (the other).
Penghargaan terhadap perbedaan,
pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal,
regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan
kebudayaan pada umumnya.
Penelitian yang bersifat lokal,
atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada gilirannya akan
memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing.
Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap
kajian budaya.
2.11 Kelebihan dan Kelemahan dari Teori
Dekonstruksi
Dekonstruksi membuka ruang kreatif
seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah kelebihan
dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu
objek tanpa batas. Ruangan makna terbuka luas, penafsiran bertumbuh biak.
Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh
makna baru melahirkan makna-makna lain.
Demikian bebas, banyaknya makna dan
tafsiran, membuat era dekonstruktivisme dianggap era matinya makna. Makna
menjadi tak berarti lagi. Inilah kelemahan dekonstruksi. Kelemahan lainnya
adalah:
1. Kebebasan tanpa batas menjadikan makna
kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna, retailisme makna.
Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat mengurangi nilai obyek tidak
lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah.
2. Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an
atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan apatisme dan
ketidakberdayaan terhadap makna.
3. Dekonstruksi tidak menyediakan
shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan pemaknaan.
Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk revitalisasi makna sebelum
membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih bugar. Dengan
demikian, kejenuhan dan kebiasaan-kebiasaan pemaknaan dapat dicegah.
4. Tidak adanya upaya untuk menghargai
puing-puing hasil pengahancuran makna karena makna-makna baru dianggap lebih
bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin justru memberi nilai
tambah abgi makna-makna baru.
Karena
itu, diperlukan sebuah model semiotika baru untuk menjawab
kekurangan-kekurangan tersebut.
BAB
III Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahsan diatas penulis menyimpulkan bahwa dekonstruksi merupakan metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan
bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang
dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu
hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan
tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir
sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya
dalam sejarah.
Aliran
dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Tokoh
terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang
kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Tokoh lainnya
yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.
Prinsip
dekonstruksi yaitu melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna
kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau merubah makna-makna yang
sudah dikonvensionalkan. Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal
dengan istilah dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai
suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang
esensial tentang tuturan. Dekonstruksi mentut kita lebih teliti dan kritis
terhadap teks sastra.
3.2 Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca
untuk menggunakan metode dekonstruksi ini juga dalam membaca teks sastra agar
kita bisa menemukan fakta lain dari pendapat atau anggapan umum atau bahkan
telah dikonvensionalkan. Dengan demikian kita bisa menjadi pembaca yang kritis
atau lebih kritis terhadap teks sastra.
Selain itu penulis juga menyarankan
pembaca untuk tidak merasa puas terhadap makalah dekonstruksi yang penulis
sajikan ini dan tetap mencari sumber lain tentang dekonstruksi untuk menambah
wawasan pembaca, karna tidak semua tentang dekonstruksi yang bisa penulis
rangkum dalam makalah ini.